Relevansi Tasawuf pada Masa Kini


Pada abad kelima Hijriyah Imam Al-Ghazali menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf  kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis  Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz  min Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak tampilnya Al-Ghazali, pengaruh tasawuf  Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathathat, karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan pada amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai, dan kesaksian Allah. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari hasil pikiran yang kacau, hasil imaginasi sendiri. Dengan demikian, al-Ghazali menolak sufi falsafi, meskipu dia mau memaafkan al-Hallaj dan Yazid al-Bustami.
Setelah tasawwuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf sunni tersebut, maka pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan denagn tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan tidak juga bisa dikatakan filsafat.
Ibn Khaldun dalam Muqoddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi mempunyai empat objek pertama, yaitu :

  1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
  2. Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
  3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
  4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathathat).[9]

Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan sekandal melanda dan menghancurkan reputasi baiknya. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan massa awam segera menyambut tipu muslihat itu, dan bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. Khurofat dan takhayyul, klenik dan hidup memalukan merupakan jalan mulus menuju ketenaran, kekayaan, dan kekuasaan.
Bersamaan dengan itu, muncullah pendekar ortodox, Ibn Taimiyah dengan lantang menyerang penyelewangan-penyelewengan tersebut. Ia melancarkan kritik yanng tajam terhadap ajaran Ittihad, Hulul, dan wahdat al-Wujud sebagai ajaran menuju kekufuran (atheisme). Ia lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullahsaw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti thoriqoh-thoriqoh tertentu