Nilai Nyawa dalam Pandangan Islam | Pilar Rasa Aman

“ Sesungguhnya, hilangnya dunia di sisi Allah, jauh lebih sederhanadari terbunuhnya seorang musim.”( H.R. Imam Tirmidzi )
Dalam pertimbangan hukum apapun, puncak dari seluruh kejahatan sosial adalah pembunuhan. Yakni tindakan menghilangkan nyawa, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apapun dan oleh siapapun.

Menurut Islam, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengerikan. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits mengutuk dan mengecam tindakan pembunuhan. Dalam Al-Quran ditegaskan barangsiapa yang membunuh satu orang, sesungguhnya sama dengan membunuh seluruh manusia 
  1. Kalau saja seseorang dibunuh sudah cukup sebagai tindakan kedzaliman yang berat, Bagaimana dengan pembunuhan disertai perampokan ?! Al-Qur’an menggolongkan hal itu ke dalam kejahatan muharib (perusuh) yang membuat kerusakkan di muka bumi
  2. Kelak di akhirat nanti, ada satu pintu neraka khusus untuk pembunuh.
Dalam sabda Rasul SAW seperti tertera di atas, betapa dunia dengan segala isinya di laut maupun di darat, termasuk dalam perut bumi tidaklah lebih berharga dari harga satu nyawa manusia. Bila semua itu lenyap, urusannya lebih sederhana dibandingka hilangnya nyawa manusia. Karena nyawa milik Allah dan maka Allah- lah yang paling berhak menghilangkannya, bukan manusia, termasuk dirinya sendiri.

Suatu ketika Rasul SAW marah pada sahabat yang membunuh seseorang yang sempat mengucapkan syahadat sebelum ditebas lehernya. Sahabat menganggap itu hanyalah tameng agar selamat. “Mengapa engkau tidak buka dadanya supaya bisa diketahui apakah ucapan syahadatnya tipuan atau benar-benar ?” Begitu ungkapan kemarahan Rasul SAW saat itu. Lalu bagaimana dengan sekarang ketika jelas-jelas muslim dibunuh layaknya seekor nyamuk atau lalat ??

Betapa langit yang kita tatap, bumi yang kita pijak, tak lagi bisa tersenyum karena bau anyir darah korban-korban pembunuhan yang mengalir tanpa bisa dihentikan. Terlalu banyak kategori kejahatan yang layak di sebut perusuh atau pengacau. Ada kejahatan murni yang dilakukan penjahat, ada juga yang dilakukan demi kepentingan politik lokal maupun international.

Pembunuhan dan perampasan hak-hak kini bisa terjadi karena alasan sederhana. Tetapi bisa juga terjadi karena sengaja diciptakan para petualang kepentingan .Seperti di jalur bisnis, kekuasaan, bahkan di jalur keamanan dengan dalih untuk dan alasan keamanan itu sendiri. Dengan retorika sedemikian rupa, ia dipaksa menjadi sebuah keyakinan bahwa sebuah, ratusan, bahkan ribuan bisa dihilangkan secara sia-sia demi kepentingan.

Tidak ada jaman yang lebih kacau melebihi jaman ketika kematian tidak punya jalur semestinya. Tidak ada masa yang lebih mengerikan melebihi masa ketika orang mudah menghabisi dan merampas hak-hak orang lain. Mudah dalam pengertian caranya, maupun dalam dalam pengertian pola pikir dan alasan yang melatarbelakanginya.

PILAR POHON RASA AMAN

Rasa aman hanyalah buah dari pohon rasa aman itu sendiri. Ia memiliki akar, daun dan rantingnya. Bila pohonnya tumbuh dengan baik maka ia akan melahirkan buah ranum yakni rasa aman . Bila pohonnya tidak ada atau ada tapi tumbuh gersang maka rasa aman hanyalah mimpi belaka. Jadi, Ia hanyalah hasil dari sebuah proses.-

Berikut ini ada beberapa pilar agar buah rasa aman bisa dinikmati antara lain :
1. Kadar keimanan
Kejahatan yang membunuh rasa aman merupakan tindakan yang berawal dari kehendak. Dan kehendak dimulai dari keyakinan. Ada atau tidak adanya, besar kecilnya , kuat atau lemahnya keyakinan memberi pengaruh signifikan terhadap ada tidaknya tindak kejahatan.

Rasa aman adalah potret kadar keimanan . Kejahatan pada setiap jaman dengan segenap atribut peradabannya merupakan penjelasan tentang kadar keimanan pendudukannya. Maraknya kejahatan adalah buah dari krisis keimanan masyarakat.

Keimanan dan keislaman yang baik akan melahirkan tabiat yang baik pula. Dalam hadits “ Sebaik-baiknya tabiat seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan perkataanya dan perbuatannya”3. Hadits lain menyebutkan bahwa sebaik-baik keislaman adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna. Atau hadits lain, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaaat bagi manusia.” Dengan demikian seburuk-buruk manusia adalah yang paling mendatangkan malapetaka bagi manusia yang lain.

Keimanan yang benar akan mendatangkan rasa aman, bagi diri sendiri maupun orang lain.Karena, memang orang-orang yang imanya bersih akan dijamin oleh Allah dengan rasa aman4. Iman itu sendiri ibarat aliran listrik . Bila ia besar ia mampu memberi kekuatan pada sumber listrik yang lain bahkan mampu menyalakan lampu yang beraneka ragam.

2.Jenis Tetangga

Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa orang lain. Oleh karenanya rasa aman seseorang bertumpu pada sikap dan perilaku orang lain. Tetangga adalah orang lain yang paling dekat dan sering berinteraksi dengan kita. Maka, berbicara rasa aman adalah berbicara tentang bagaimana tetangga kita, Disamping tetangga macam apa kita.

Secara sosial, sistem dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kecil antar tetangga memberi konstribusi pada ada tidaknya rasa aman. Masyarakat individualis memiliki resiko tidak aman lebih tinggi ketimbang masyarakat yang hidup bersama tetangga penuh dengan tegur sapa, saling bantu, silaturahim.

Suatu hari Rasul SAW bersabda “ Tidaklah beriman salah seorang kamu sehingga tetangganya merasa aman dari kejahatannya.”

Ibnu Mas’ud yang hadir bertanya,” Apakah kejahatan-kejahatan itu , ya Rasul ?” “Kelaliman dan kezalimannya,” jawab Rasul.

3. Pemimpin dan Hukum

Rasa aman adalah produk dari sistem yang berlaku dalam masyarakat. Disinilah peran pemimpin sebagai pembuat sistem tersebut . Pemimpin berlaku adil dan menunaikan hak-hak rakyatnya, tidak zallim. Sementara rakyat taat pada pemimpin ( selama bukan maksiat kepada Allah). Hubungan timbal balik itulah yang akan memberi rasa aman. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar r.a meminta berhenti dari jabatannya sebagai hakim karena tidak ada pengaduan kepada mahkamah.

Para pemimpin yang dzalim memberi andil besar terhadap hilangnya rasa aman . Sebab sistem dan tatanan hukum bisa dikacaukan mereka. Hukum hanya milik mereka yang punya uang.

Pemimpin yang tidak memberikan rasa aman kepada rakyatnya, mendapat ancaman yang mengerikan. Dari Aisyah ,” Aku mendengar Rasul bersabda, Ya Allah barangsiapa yang diberi sedikit kekuasaan untuk mengurus umatku kemudian dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia. Dan barangsiapa yang diberi kekuasaan untuk mengurus umatku kemudian dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.”5

Dari hukun lahirlah budaya. Meski budaya bermula lahir dari kebiasaan orang-orang, tetapi hukumlah yang menertibkan kebiasaan personal. Ketika hukum tak mampu mengelola kebiasaan personal di wilayah publik saat itulah kekacauan pribadi akan menjadi wabah kekacauan sosial.

4. Ketercukupan Makanan

Tak ada orang yang bisa bertahan terhadap kelaparan, kecuali dalam batas-batas yang wajar. Dalam surat Al-Quraisy Allah menyebutkan karunia besar bagi kaum Quraisy yaitu rasa aman dan kenyang dari lapar. Dua pilar inilah yang memberi jaminan keberlangsungan hidup orang Quraisy. Hilangnya rasa aman dan maraknya kelaparan akan menjadi sumber kekacauan.

Dalam termonologi sekarang, jaminan terhindarnya rasa lapar meliputi pemerataan kekayaan, pengentasan kaum miskin, jaminan sosial dari negara, iklim kompetisi bisnis yang fair. Sisi lainnya adalah bagaimana sebuah kekayaan itu diperoleh5.

Seringkali seseorang menjadi miskin karena korban sistem yang buruk. Istilahnya, kemiskinan struktural. Bila kemiskinan itu merambah ke tidak tercukupinya kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar, maka alamar rasa aman akan terguncang.

JADILAH AIR DI PADANG GERSANG

Hari ini mencari rasa aman seperti mengejar fatamorgana ditengah terik matahari. Namun, dalam kondisi itu berkonstribusi bagi lahirnya rasa aman adalah keniscayaan. Di tengah hidup yang kian liat, menjadi tempat teduh yang rindang adalah kemuliaan.

Pertama, Sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan secara sengaja.

Seperti setetes tinta yang mengotori kain bersih begitu juga sebuah kesalahan. Ia akan mengotori hati yang bersih. Terlebih bila kesalahan itu dikategorikan dosa. Pada kehidupan pribadi kesalahan akan menimbulkan kegundahan, menghilangkan rasa aman, mengacaukan pikiran. Dalam konteks sosial kesalahan ibarat virus yang akan menggangu stabilitas. Pada akhirya akan timbul gejolak dan rasa aman pun terguncang.

Oleh karena itu sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan secara sengaja. Karena itu dilakukan dengan sadar, artinya kita telah memutuskan untuk berbuat salah. Bobot dosanya berbeda dengan kesalahan karena kebodohan. Karenanya apresiasi Islam terhadap pertaubatan juga memberi catatan yang berbeda, pada soal sesngaja atau tidaknya sebuah kesalahan dilakukan6.

Dengan menjauhi kesalahan yang disengaja, kita menjadi dahan bagi tempat kita dan orang lain berteduh mencari rasa aman.

Kedua, Berlaku adillah,terlebih terhadap orang-orang dekat.

Berlaku adil terhadap orang-orang yang dicintai merupakan salah satu ujian terbesar kehidupan. Seringkali kedekatan dengan sanak kerabat, menjadikan kita tidak berlaku adil. Dari sanalah lantas kekacauan muncul.

Suraikh, seorang hakim menangani kasus yang melibatkan anakanya. Dengan keadilannya ternyata anaknya dinyatakan bersalah. Padahal bisa saja ia memenangakan anaknya.

Ketiga, Biasakanlah Menunaikan Hak Segera Mungkin.

Dalam batas tertentu, diri kita tempat bergantung rasa aman sesama. Hal ini terlihat dalam penunaian hak-hak orang lain. Ada begitu banyak hak orang lain pada diri kita termasuk hak kita atas orang lain Setiap ada hak yang tidak tertunaikan maka setiap itu pula muncul peluang ketidakamanan.

Allah SWT secara khusus mengingatkan,” sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya7.” Atas nama hak sesama tetangga pula, Abu Hanifah meminta tetangganya yang ditahan agar dibebaskan. Tetangga tersebut tiap malam selalu berbuat kegaduhan sampai menggangu kekhusyuan shalat malam Abu Hanifah. Sampai akhirnya ia ditahan karena perbuatan itu. Setelah bebas Abu Hanifah berkata,” Tidakkah kamu dapati aku ini tetangga yang baik ? “ Tetangganya malu mengiyakan. Sejak saat itu ia tidak lagi membuat kegaduhan.

Keempat, Sebisa mungkin, Luruskan yang Bengkok.

Mengharap rasa aman tidak cukup menjadi baik secara pasif. Harus ada kemauan untuk meluruskan segala yang bengkok. Secara sosial, beban dan tanggung jawab meluruskan kesalahan kembali kepada siapa dan apa peranan kita. Meski, secara keimanan setiap kita punya kewajiban untuk menghilangkannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang harus dengan tangan kekuasaan8. Ada yang dengan lisan. Atau hanya dengan hati dan doa.

Setiap kita punya otoritas tertentu untuk berbuat dan melarang. Maka sesuai dengan kapasitas itu, sebagai apapun, kita harus meluruskan yang salah dan membenarkan yang benar. Landasan moral dari semua itu adalah penegasan Rasul, bahwa setiap kita adalah pemimpin. Lalu setiap kita akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinan kita. Karenanya atas orang yang menjadi amanah kita harus ada sikap dan tindakan yang jelas bila ada kesalahan, hal yang sama juga kita harus lakukan terhadap diri sendiri.

Kelima, Biasakan hidup teratur, setidaknya itu akan meringankan diri sendiri.

Segala yang ada di dunia ini diciptakan dengan teratur. Itu menjadi cermin bahwa manusia pun harus hidup teratur. Rasa aman akan hilang bila orang tidak lagi menjalani hidup dengan teratur.

Di manapun kita berada, perlu ketertiban. Di jalan, di rumah, di tempat kerja, atau di tempat-tempat lainnya. Bahkan pada segala ibadah yang diperintahkan kepada kita, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan pentingnya keteraturan. Bila berdiri untuk shalat berjamaah, kita diperintahkan meluruskan shaf dan merapatkan barisan. Celah-celah yang kosong akan diisi syetan dan syetan akan menimbulkan rasa permusuhan. Sedangkan rasa permusuhan itu sendiri adalah sumber utama hilangnya rasa aman. Begitu pun waktu shalat, ia tidak bisa dikerjakan dengan sembarang waktu. Dalam puasa pun ada ketertiban. Kita dilarang makan pada jam tertentu, lalu diwajibkan berbuka pada jam tertentu. Perhatian Islam terhadap hal-hal yang dianggap remeh, menunjukkan bahwa tidak ada yang boleh dianggap kecil dan remeh. Perhatikanlah bagaimana Islam meletakan kebiasaan memotong kuku, merapikan kumis, sebagian dari sunnah fitrah. Bahkan Rasul secara khusus memrintahkan kita untuk menutupi tempat air, mematikan apai, bila waktu tidur telah tiba

Hidup yang teratur dan tertib, secara hukum maupun moral, akan menyelamatkan kita dari berbagai kerugian, di dunia maupun akhirat. Sebaliknya, kekacauan bisa mengubah kekayaan menjadi kemiskinan, lahir maupun batin.

Masalah ini kembali ke soal paradigma dan cara pandang. Dari soal paradigma itu pula, kemudian untung dan rugi di dunia maupun akhirat, bisa menjadi masalah.

KARENA ADA TAKUT MAKA ADA AMAN

Ketakutan adalah karunia. Dengan itu kita merasa perlu akan rasa aman. Dalam peta tauhid, bahkan, rasa takut ( kepada Allah SWT ) merupakan pilar penting. Dari sana lantas kebutuhan akan rasa aman menjadi lahan yang subur bagi segala kebaikan.

Allah SWT berfirman,” Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar9.”

Allah membimbing hambanya, agar rasa takut berbuah rasa aman dengan menjadikan rasa takut itu sebagai takwa, lalu mengiringinya dengan amal shalih. Allah SWT berfirman, “ Maka, barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pu;a bersedih hati10.”

Rasa takut, dalam tataran keimanan melahirkan kebergantungan kepada Allah, meski kita hidup di negeri yang aman sentosa. Kebergantungan itu adalah mesti, di saat lapang maupun sempit. Seperti nasehat Rasul kepada Ibnu Abbas,” Jagalah Allah, niscaya akan engkau dapati ia di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika memoon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.”

Ketergantungan kita kepada Allah dalam urusan keseharian, bisa dalam berbagai bentuk. Bisa keselamatan fisik , kehalalan usaha, keberkahan, dijauhkan dari penipuan, dijauhkan dari yang haram, juga adanya manfaat berkelanjutan dari setiap jerih payah yang kita upayakan. Dalam soal harta, misalnya , kita sangat perlu mengharap rasa aman, agar ia bermanfaat dan kelak, harta tidak menjadi beban di akhirat.

Para salafusshalih dahulu sangat bergati-hati dalam soal itu. Yazid bin Syarik Attaimi, suatu hari ia pergi berdagang ke Basrah. Ia mendapat untung yang sangat besar, dua puluh dirham. Tetapi kemudian berkata,” Aku tidak ingin lagi kembali ke sana. Sebab aku mendengar Abu Dzar berkata,” Sesungguhnya pada hari kiamat nanti, pemilik satu dirham lebih ringan penghisabannya dari pemilik dua dirham.”

Ketergantungan yang benar dalam urusan dunia maupun akhirat merupakan ketergantungan yang jujur dan tulus. Bukan ketergantungan di saat sempit, tapi saat datang kelapangan, seketika ia lupa. Seperti diingatkan Allah. “ Dan apabila manusia di timpa bahaya dia berdo’a kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya darinya, dia kembali ( melalui ) jalan yang sesat seolah-seolah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan10.”

Ada rasa rakut, karenanya kita perlu rasa aman, bergantung kepada Dzat yang merupakan sumber segala rasa aman. Dari sana lantas, kita pun memohon diberi kekuatan untuk menebarkan rasa aman dan kasih sayang kepada sesama. Seperti misi besar kerasulan Nabi kita, bahwa ia diutus sebagai rahmat bagi alam.

Kepada Allah kita memohon rasa aman, kepadanya pula kita memohon bisa menjadi orang-orang yang menyamankan. Semua itu, justru bermula dari rasa takut itu sendiri.

----------------------G@N-------------------