Eskatologis dalam Pandangan Islam

Eskatologis dalam Pandangan Islam. Kata ‘eskatologi’ itu sendiri dalam bahasa Inggris berarti cabang ilmu ke Tuhanan yang menyangkut tentang kematian, pengadilan Tuhan, surga dan neraka (Oxford English Dictionary). Dalam bahasa agamanya, kata ini bisa diartikan sebagai hari pembalasan bagi umat manusia dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia atau ‘yaumil akhir’. Dan salah satu esensi ajaran Islam (rukun iman) adalah beriman kepada yaumil akhir ini.

Ide pokok ajaran eskatologi dalam al Qur’an menceritakan akan tiba satu saat dimana setiap manusia memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialami sebelumnya mengenai amal perbuatannya semasa hidup. Dalam al Qur’an banyak ayat yang menggandengkan keimanan kepada Allah SWT dan yaumil akhir. Dan masalah eskatologi inilah yang kemudian menjadi sumber pertentangan dan penolakan bangsa ‘Arab terhadap seruan Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi sebelumnya. Rasulullah SAW tidak mengalami kesulitan ketika memperkenalkan Allah SWT sebagai Tuhan pencipta alam. Sebagaimana gambarkan dalam surah Luqman ayat 25, “ Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’.Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah,’ Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tak mengetahui ”.

Akan tetapi ketika Nabi SAW menyampaikan prinsip-prinsip eskatologi, bahwa suatu hari nanti manusia akan dibangkitkan kembali dan diminta pertanggungan jawabnya atas segala perbuatannya di dunia, mereka tidak menerimanya. Sesuatu hal yang mustahil. Menurut mereka, tulang belulang yang telah hancur lebur tidak mungkin akan dibangkitkan dan dihimpun kemudian diminta pertanggungan jawab. Bagi masyarakat ‘Arab, riba (membungakan uang) itu wajar . Hidup dengan berfoya-foya, bersenang-senang dengan cara yang berlebihan adalah penunjukkan jati dirinya sebagai orang yang sukses. Bagi orang kaya dikalangan mereka, tak ada sesuatu yang dipandang hina yang harus dijauhi. Karena dengan membawa sesajen (persembahan), segala dosa dan kejahatan mereka sudah dapat ditebus. Seseorang cukup mengadu nasibnya dengan anak apanah (qidh) di depan ‘Hubal’ (tuhan berhala mereka) sebelum ia melakukan suatu tindakan. Tanda yang diberikan anak panah, itulah perintah yang datang dari Hubal. Agar semua dosa dan kejahatan yang dilakukan diampuni, ia cukup menyembelih binatang untuk berhala-berhala itu. Siapapun boleh melakukan pelanggaran, kejahatan, perzinahan, perampokan, perampasan. Tak ada larangan selama mereka mampu menebusnya dengan korban-korban dan penyembelihan.

Sebenarnya penolakan masyarakat ‘Arab jahiliyah terhadap ajaran kebangkitan juga tidak terlepas dari sikap sosial politik dan ekonomi mereka yang despotik (lalim) dan eksploitatif. Sebagai kaum aristokrat dan pemegang aset ekonomi, mereka menjalankan kehidupan dengan segala cara untuk memperkuat kedudukan dalam masyarakat. Mereka menindas dan mengeksploitasi masyarakat jelata, tidak kenal hukum yang membatasi aktivitas mereka.

Dan itupulah sebabnya, ketika Nabi SAW menyampaikan bahwa perbuatan mereka di dunia akan dibalas, mereka membantahnya. Mereka menganggap, ancaman Nabi SAW cuma gertak sambal belaka, untuk mengungkung kebebasan mereka mengumpulkan harta dan kekuasaan. Paham dan ajaran Nabi SAW mereka anggap dapat merusak struktur kekuasaan politik dan ekonomi yang mereka miliki.

Dan kalau kita refleksikan semua itu dengan keadaan bangsa kita sekarang, prilaku masyarakat ‘Arab jahiliyah tak jauh beda dengan prilaku sebagian besar anak bangsa ini. Mereka, meski mengaku beriman kepada Allah SWT dan yaumil akhir, tetapi tak mampu menjabarkan keimanannya itu kedalam kehidupan praktis. Ada suatu keterpisahan antara pemahaman keagamaan dan sikap keseharian. Dari hari ke hari kita menyaksikan berbagai sekandal politik dan ekonomi (kasus Bank Centuri, kasus Adi Condro hilang bigitu saja, harga harga kebutuhan pokok yang melambung, kelangkaan BBM dan Gas, PLN yang sesuka-kanya mematikan aliran, Air Tirtanadi yang hitam menetes-netes. Sedang kasus-kasus sosial, buruh yang terus ditekan dan diperas tenaganya, pendidikan, kesehatan, agama (masalah haji, masjid yang digusur) semuanya hamper tak pernah terselesaikan secara tuntas. Suatu masalah ditutup begitu saja dengan memunculkan masalah baru lainnya, demikian seterusnya, sehingga masyarakat pun merasa apatis, skeptis dan gondok melihat prilaku mereka.

Mungkin yang bisa membedakan antara elit bangsa kita dan masyarakat ‘Arab Jahiliyah, adalah penentangan mereka terhadap ajaran ekskatologis yang bersifat terang-terangan (terbuka). Sedangkan pada kalangan elit bangsa ini, ajaran ekskatalogis, masih diimani, tetapi tidak membekas dalam kehidupan nya. Itu sebabnya kekerasan, korupsi, prilaku politik yang tak sehat-saling sikut, memback up pembalakan hutan, terima suap, memback up perjudian dan pelacuran terselubung, mafia tanah dan perizinan, serta segudang perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang melanggar etika dan moral agama sangat permisif dilakukan.

Jika orang yang benar-benar beriman kepada yaumil akhir tak akan mungkin berani berbuat cela dan hina, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, karena semua itu merupakan amanah. Bagaimana mungkin ia akan menyalahgunakan uang negara, kalau ia yakin uang itu adalah milik rakyat, dan di yaumil akhir nanti rakyat akan menuntut balik hak dan milik mereka. Bagaimana mungkin ia akan bersikap kasar dan kejam terhadap rakyat, kalau ia yakin nanti jutaan rakyat akan menuntut balas atas darah dan kehormatan mereka. Bagaimana mungkin ia berani melakukan tindakan-tindakan kebohongan kepada rakyat pemilihnya, kalau ia yakin dan tertanam dalam hatinya bahwa asekecil apapun perbuatan manusia nanti akan diminta pertanggungan jawabnya. Bagaimana mungkin ia melakukan semua itu kalau ia sadar akan ancaman Allah dengan siksaan api neraka yang maha dahsyat akan menimpa dirinya, dan sebelumnya ia akan mengalami siksa qubur yang akan dideritanya.

Jangan pernah berpikir seperti masyarakat ‘Arab masa Nabi SAW, yang menganggap dapat menebus segala perbuatan dosa dengan pengorbanan dan penyembelihan. Jangan pernah berangan-angan, kalau menyembelih qurban, pergi haji, membangun tempat-tempat ibadah, lalu hapuslah segala dosa. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan, “ al kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’da al maut, wa al ‘aajizu manit-taba’a hawaha wa tamanna ‘alallah al amaani ”./ Orang yang sempurna akalnya ialah orang yang mengkoreksi dirinya dan ber’amal untuk menghadapi mati, sementara orang yang bodoh ialah yang selalu mengikuti keinginannya dan mengharap berbagai macam harapan/angan-angan dari Allah.

Di dunia mungkin orang bisa lari dari peradilan manusia dan menutup-nutupi kesalahan dengan berbagai dalih. Tapi dialam qubur dan diakhirat nanti, semua nya tak dapat dipungkiri. Pada hari itu, mulut sebagai sumber dusta akan dikunci Allah. Yang berbicara adalah tangan, kaki dan pikiran dan seluruh indra manusia. Semuanya bersaksi atas apa yang telah dilakukan seseorang selama hidupnya di dunia, seperti penjelasan ayat pembuka di atas.

Karena itu, orang yang benar-benar beriman terhadap Allah dan hari akhirat pasti akan berusaha menjalankan kehidupannya di dunia dengan baik.
Ibnu Athailah berkata dalam al Hikamnya, ‘Allah merobah-robah keadaanmu dari sedih kegembira, dari sehat kesakit, dari kaya ke miskin, dari terang ke gelap, agar engkau mengerti bahwa engkau tidak bebas dari hukum ketentua Nya’. Wallahu a’lam.

sumber: http://www.waspada.co.id/